Polemik Penyewaan 37 Kios BUMDes Dungun, Diduga Tidak Transparan Dan Berpotensi Rugikan Keuangan Desa

Probolinggo, Radarpatroli
Sebanyak 37 kios milik Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Dungun, Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo, yang berlokasi di kawasan Rest Area Dungun, kini menjadi sorotan publik. Hal ini mencuat setelah Tim Inspektorat Kabupaten Probolinggo melakukan audit selama tiga hari berturut-turut pada 15, 16, dan 17 Juli 2025. Audit tersebut dilakukan sebagai respons atas dugaan praktik penyewaan kios dengan tarif tinggi dan bervariasi yang tidak dikelola secara transparan serta berpotensi merugikan keuangan desa.
Hasil penelusuran media mengungkapkan bahwa tarif sewa kios di lokasi tersebut mencapai puluhan juta rupiah. Salah satu yang paling mencolok adalah Kios Nomor 10 yang diketahui disewakan hingga Rp32 juta. Adapun tarif lainnya bervariasi, mulai dari Rp25 juta, Rp27 juta, Rp30 juta, bahkan ada yang hanya Rp1 juta. Ketidaksesuaian tarif ini menimbulkan tanda tanya besar terkait mekanisme penetapan harga dan ke mana dana tersebut dialirkan.
Seorang penyewa kios yang tidak ingin disebutkan namanya mengaku melakukan transaksi langsung dengan mantan Kepala Desa berinisial MJB, yang menjabat pada tahun 2018.
“Waktu saya menyerahkan uang Rp25 juta ke Pak Kades MJB, beliau bilang kios ini tidak boleh dijual ke orang lain, hanya boleh diwariskan ke anak atau cucu. Tapi harga kios beda-beda. Ada yang Rp27 juta, Rp30 juta, bahkan ada yang Rp1 juta. Di kwitansi juga tidak tertulis masa berlaku atau berakhirnya sewa,” jelasnya.
Minimnya kejelasan mengenai masa sewa, perbedaan harga yang signifikan, serta tidak adanya pencatatan dan pelaporan yang terbuka menimbulkan dugaan kuat bahwa pengelolaan kios ini berpotensi menyalahi prinsip tata kelola keuangan yang akuntabel.
Menanggapi hal tersebut, Inspektorat Kabupaten Probolinggo turun tangan melakukan audit secara menyeluruh terhadap administrasi dan keuangan BUMDes Desa Dungun. Audit melibatkan penelusuran dokumen pertanggungjawaban, realisasi anggaran, serta aktivitas usaha BUMDes dalam tiga tahun anggaran terakhir. Proses pemeriksaan ini dilaksanakan di kantor desa dan turut menghadirkan perangkat desa serta pengurus BUMDes terkait.
Langkah ini diambil sebagai bentuk respon terhadap dugaan adanya penyimpangan tata kelola BUMDes yang bisa berdampak pada kerugian keuangan desa. Warga pun mendesak agar hasil audit tersebut diumumkan secara terbuka dan jika ditemukan pelanggaran, agar aparat penegak hukum bertindak tegas.
“Kami berharap dana yang masuk dari sewa kios benar-benar digunakan untuk kemaslahatan masyarakat desa. Jika penggunaannya tidak jelas, tentu harus ada pertanggungjawaban secara hukum,” ujar seorang warga yang mengikuti perkembangan kasus ini.
Sebagaimana diketahui, BUMDes dibentuk untuk mengelola potensi desa dan meningkatkan kesejahteraan warga secara transparan dan profesional. Namun jika dikelola tanpa akuntabilitas, bahkan cenderung menguntungkan kelompok tertentu, maka BUMDes justru akan menjadi sumber konflik dan menghambat pembangunan desa.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh desa di Kabupaten Probolinggo agar lebih hati-hati dan terbuka dalam mengelola aset desa. Sistem pelaporan yang tertib, transparansi penggunaan dana, dan keterlibatan masyarakat sebagai pengawas sosial menjadi kunci penting dalam mewujudkan tata kelola BUMDes yang sehat dan berkelanjutan.
Kini, publik menantikan langkah konkret dari Pemerintah Kabupaten Probolinggo menyikapi hasil audit Inspektorat serta menuntut penyelesaian kasus ini secara tuntas demi menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan desa.
(Tim)