Wujudkan Madrasah Inklusif, Kemenag Dan DPR RI Gandeng FITK UIN Malang Gelar Workshop Peningkatan Mutu Pendidikan Islam

Pasuruan, Radarpatroli
Dalam upaya mewujudkan sistem pendidikan Islam yang lebih adil, terbuka, dan menghargai keberagaman, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang bekerja sama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia serta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar kegiatan Workshop Peningkatan Mutu Pendidikan Islam bertajuk “Mewujudkan Madrasah Inklusif: Optimalisasi Peran Kepala Madrasah dalam Mengelola Keberagaman Peserta Didik.”
Kegiatan ini diselenggarakan secara serentak di dua lokasi, yakni Hotel SPBU Grati Kabupaten Pasuruan dan Hotel BJ Perdana Kota Pasuruan, dengan diikuti oleh 200 peserta dari berbagai latar belakang mulai dari kepala madrasah, guru dan ustadz, mahasiswa, dosen, tokoh masyarakat, hingga masyarakat umum yang peduli terhadap dunia pendidikan. Tujuan utama kegiatan ini adalah memperkuat kapasitas kepala madrasah dalam mengelola keberagaman peserta didik sekaligus menanamkan nilai-nilai inklusif dalam lingkungan pendidikan Islam.
Dalam salah satu sesi yang penuh inspirasi, Dr. Ulfah Muhayani, M.PP, dosen dan pakar pendidikan dari UIN Malang, membagikan pengalamannya selama menempuh pendidikan di Australia. Ia menjelaskan bahwa sistem pendidikan di negara tersebut menerapkan prinsip inclusivenes atau keterbukaan terhadap keberagaman secara menyeluruh, baik dari sisi kebijakan, kurikulum, maupun pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Menurutnya, setiap anak di Australia memiliki hak yang sama untuk belajar, tanpa memandang perbedaan latar belakang sosial, budaya, ekonomi, bahasa, maupun kondisi fisik dan mental. Guru-guru di sana tidak hanya berfokus pada capaian akademik, tetapi juga berkolaborasi dengan konselor, psikolog, terapis, dan tenaga ahli lainnya untuk memastikan setiap anak mendapatkan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhannya.
“Suasana belajar yang diciptakan sangat ramah, adil, dan mendukung tumbuhnya rasa percaya diri serta kemandirian siswa. Itulah yang membuat setiap peserta didik merasa dihargai dan diterima,” tutur Dr. Ulfah.
Ia menambahkan bahwa sistem pendidikan Indonesia, khususnya madrasah, dapat mengambil banyak pelajaran dari model inklusif tersebut. Menurutnya, membangun madrasah inklusif tidak semata-mata bergantung pada fasilitas fisik, tetapi lebih pada perubahan cara pandang para pendidik dan kepala madrasah terhadap keberagaman.
“Inklusivitas adalah soal hati dan komitmen. Ini tentang bagaimana kita memandang setiap anak sebagai individu yang unik dan berharga di mata Allah,” tegasnya.
Sementara itu, Dr. Muh Yunus, M.Si, Wakil Dekan I Bidang Akademik FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, membuka kegiatan secara resmi. Dalam sambutannya, ia memperkenalkan berbagai program studi di FITK yang didesain untuk mencetak calon pendidik berkarakter inklusif dan berwawasan global.
FITK, lanjutnya, memiliki komitmen kuat dalam memberikan kesempatan belajar bagi semua kalangan, tanpa memandang gender, asal daerah, status ekonomi, maupun kondisi fisik. UIN Malang bahkan telah menyediakan fasilitas ramah difabel, seperti akses gedung yang inklusif, dosen pendamping, serta layanan konseling bagi mahasiswa berkebutuhan khusus.
“Pendidikan inklusif adalah hak semua orang. FITK berkomitmen menghadirkan ruang akademik yang terbuka bagi siapa pun untuk berkembang, karena Islam sendiri menekankan pentingnya keadilan dan kesetaraan dalam menuntut ilmu,” ujar Dr. Yunus.
Ia juga menekankan bahwa penguatan kompetensi kepala madrasah dalam mengelola keberagaman sangat penting agar setiap lembaga pendidikan Islam mampu beradaptasi dengan tantangan zaman dan tetap relevan di tengah perubahan sosial yang cepat.
Kegiatan ini juga menghadirkan H. Syaiful Nuri, anggota Komisi VIII DPR RI, yang dikenal aktif memperjuangkan isu pendidikan dan sosial keagamaan. Dalam paparannya, ia menjelaskan bahwa madrasah inklusif merupakan lembaga pendidikan yang membuka diri bagi semua peserta didik, tanpa memandang latar belakang sosial, budaya, agama, maupun kondisi fisik dan mental.
Menurutnya, kepala madrasah memiliki peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai inklusif di lingkungan pendidikan. Mereka bukan sekadar administrator, tetapi juga pemimpin moral dan pembentuk budaya madrasah. Kepala madrasah harus mampu membangun sistem yang memberi ruang bagi semua siswa untuk berkembang secara optimal sesuai potensinya.
“Pemimpin madrasah harus mampu mendorong guru melakukan pemetaan kebutuhan belajar siswa, menyesuaikan metode pembelajaran, serta menjalin kerja sama dengan guru pendamping khusus, orang tua, dan tenaga profesional lain. Dari sinilah inklusivitas akan tumbuh menjadi budaya, bukan hanya slogan,” jelasnya.
H. Syaiful Nuri juga mengajak madrasah untuk menyusun peta jalan (roadmap) menuju madrasah inklusif, yang mencakup penyesuaian kurikulum, penguatan kapasitas guru, pembentukan tim layanan inklusi, serta pelibatan masyarakat sekitar. Ia menegaskan bahwa dukungan kebijakan publik dari Kementerian Agama dan DPR RI akan terus diperkuat agar program inklusi di madrasah dapat berjalan secara berkelanjutan di seluruh Indonesia.
“Madrasah inklusif bukan sekadar kebijakan pendidikan, melainkan perwujudan nyata nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran Islam yang menghargai setiap individu sebagai makhluk Allah yang unik dan bernilai,” pungkasnya.
Melalui kegiatan ini, diharapkan terbangun kesadaran kolektif bahwa pendidikan inklusif adalah kebutuhan mendesak dalam sistem pendidikan Islam. Kepala madrasah, guru, dan seluruh elemen masyarakat pendidikan diharapkan mampu menjadi pelopor perubahan yang membawa semangat keadilan, keterbukaan, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Kegiatan sosialisasi ini menjadi langkah nyata kolaborasi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan legislatif dalam membangun ekosistem pendidikan madrasah yang inklusif, humanis, dan berkeadilan, sejalan dengan cita-cita Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan berkeimanan.
Reporter : Sayful
Editor : Yuris