Akselerasi Kebijakan Vaksinasi TBC Di Indonesia Menyongsong Era Vaksin Generasi Baru untuk Eliminasi 2030

Foto Bersama Tim Penulis
Nasional, Radarpatroli
Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang paling kompleks dan persisten di Indonesia. Meski telah banyak intervensi yang dilakukan, termasuk program pengobatan dan deteksi dini, namun angka insidensi dan mortalitas TBC masih sangat tinggi. Berdasarkan laporan WHO Global Tuberculosis Report 2023, Indonesia menempati urutan kedua tertinggi di dunia dalam hal jumlah kasus TBC, setelah India. Diperkirakan terdapat 1,06 juta kasus baru setiap tahun dengan lebih dari 134.000 kematian. Ini mencerminkan tantangan serius yang dihadapi sistem kesehatan nasional dalam mengendalikan penyakit yang sesungguhnya dapat dicegah dan disembuhkan ini.
Salah satu faktor penyumbang yang paling mendasar dalam kegagalan menurunkan angka kasus TBC secara signifikan adalah masih digunakannya vaksin Bacillus Calmette–Guérin (BCG) sebagai satu-satunya vaksin yang tersedia dalam program imunisasi nasional. Vaksin BCG memang memberikan perlindungan yang cukup baik terhadap bentuk TBC berat pada anak-anak, namun efektivitasnya pada kelompok usia remaja dan dewasa yang merupakan kontributor utama transmisi penyakit sangat terbatas. Ini menciptakan kesenjangan perlindungan dalam populasi, yang berdampak pada keberlanjutan penularan TBC di komunitas.
Keterbatasan tersebut semakin mendesak untuk diatasi, mengingat tantangan baru yang dihadapi dalam bentuk peningkatan kasus TBC resistan obat (MDR-TB), yang tidak hanya sulit diobati tetapi juga memerlukan biaya tinggi dan durasi terapi yang lebih lama. Dalam konteks inilah, munculnya vaksin TBC generasi baru seperti M72/AS01E memberikan harapan besar. Vaksin ini telah menunjukkan hasil menjanjikan dalam uji klinis fase IIb dengan efektivitas hampir 50% dalam mencegah progresi dari infeksi laten menjadi penyakit aktif. Vaksin ini secara khusus dikembangkan untuk kelompok usia dewasa dan remaja, sehingga dapat menutup celah perlindungan yang selama ini ditinggalkan oleh BCG.
Tujuan dari usulan kebijakan ini adalah untuk mendorong adopsi cepat dan terintegrasi dari vaksin TBC generasi baru ke dalam sistem imunisasi nasional Indonesia. Dengan demikian, Indonesia dapat memperkuat pencegahan primer terhadap TBC, mengurangi beban pengobatan, dan mempercepat pencapaian target eliminasi TBC pada tahun 2030, sebagaimana yang telah dicanangkan dalam Rencana Aksi Nasional Penanggulangan TBC.
Analisis terhadap permasalahan ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa akar penyebab yang saling berkaitan. Pertama, keterlambatan dalam adopsi inovasi vaksin diakibatkan oleh sistem regulasi yang belum cukup adaptif terhadap percepatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Kedua, belum adanya kebijakan yang mendukung program vaksinasi untuk kelompok usia remaja dan dewasa, yang menjadi celah besar dalam sistem perlindungan populasi. Ketiga, rendahnya literasi publik dan sebagian tenaga kesehatan tentang keberadaan dan manfaat vaksin TBC baru menjadi penghambat dalam penerimaan sosial terhadap intervensi ini. Ketergantungan historis terhadap vaksin BCG, meski sudah diketahui keterbatasannya, tetap mendominasi karena belum tersedia alternatif yang secara resmi disahkan dan diintegrasikan ke dalam sistem nasional.
Dampak dari kelambanan ini cukup signifikan. Transmisi TBC di komunitas tetap tinggi, beban pembiayaan untuk pengobatan meningkat, dan sistem kesehatan nasional terbebani oleh pengelolaan jangka panjang kasus TBC resistan. Jika dibiarkan, konsekuensi yang akan terjadi antara lain adalah kegagalan mencapai target eliminasi TBC 2030, peningkatan kematian dini akibat TBC, serta memburuknya kepercayaan masyarakat terhadap efektivitas kebijakan kesehatan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, kebijakan yang diusulkan meliputi beberapa aspek strategis. Pertama, pemerintah perlu melakukan kajian teknologi kesehatan (health technology assessment/HTA) secara menyeluruh terhadap vaksin generasi baru seperti M72/AS01E, guna menilai efektivitas, keamanan, dan cost-effectiveness-nya sebagai dasar pengambilan keputusan. Kedua, perlu dilakukan penyesuaian regulasi untuk mempercepat proses perizinan vaksin baru melalui skema fast-track, serta membuka akses pembiayaan baik dari sumber dalam negeri (APBN) maupun kerja sama internasional dengan lembaga donor seperti GAVI, Global Fund, dan WHO. Ketiga, penguatan kapasitas layanan kesehatan primer perlu dilakukan agar mampu mengintegrasikan program imunisasi TBC remaja dan dewasa ke dalam praktik layanan rutin. Keempat, edukasi masyarakat dan pelibatan komunitas dalam kampanye komunikasi risiko akan menjadi komponen penting untuk mendorong penerimaan publik dan membangun kepercayaan terhadap vaksin baru.
Kebijakan ini diharapkan dapat menghasilkan berbagai dampak positif, antara lain penurunan insidensi dan mortalitas TBC secara signifikan dalam jangka menengah (5–10 tahun), peningkatan efisiensi pembiayaan kesehatan nasional, serta mempercepat pencapaian eliminasi TBC. Selain itu, adopsi vaksin generasi baru juga akan menempatkan Indonesia sebagai negara yang proaktif dan progresif dalam merespons tantangan kesehatan masyarakat global.
Strategi implementasi dari kebijakan ini akan dibagi ke dalam tiga fase utama. Fase pertama (2025–2026) mencakup kegiatan advokasi, kajian HTA, serta penyusunan pedoman teknis dan regulasi percepatan. Fase kedua (2026–2028) melibatkan pelaksanaan proyek percontohan (pilot) di beberapa provinsi dengan beban TBC tinggi seperti Papua, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Fase ketiga (2028–2030) adalah fase perluasan nasional, yang melibatkan distribusi vaksin secara luas, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, serta integrasi penuh ke dalam sistem imunisasi nasional.
Untuk memastikan efektivitas pelaksanaan kebijakan, metode pemantauan dan evaluasi akan dilakukan secara berkala dengan pendekatan campuran kuantitatif dan kualitatif. Pemantauan dilakukan melalui sistem Surveilans Terpadu TBC yang telah dikembangkan Kementerian Kesehatan, serta indikator cakupan vaksinasi, jumlah kasus baru, dan kepatuhan masyarakat. Evaluasi kualitatif akan melibatkan wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah (FGD), serta survei kepuasan dari tenaga kesehatan dan masyarakat. Laporan hasil evaluasi disusun secara tahunan dan digunakan sebagai bahan untuk revisi kebijakan dan peningkatan program.
Dengan semua pertimbangan di atas, jelas bahwa Indonesia perlu mengambil langkah kebijakan yang lebih visioner dan berbasis bukti dalam menghadapi tantangan TBC. Adopsi vaksin generasi baru bukan hanya langkah ilmiah, tetapi juga merupakan wujud komitmen moral dan politik terhadap hak masyarakat atas kesehatan yang optimal dan kehidupan yang bebas dari penyakit menular yang seharusnya dapat dicegah.
Tim Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin: Irne Wida Desiyanti, Andi Sakurawati, Ni Made Ary Lisnawati, Doli Kogoya, Anak Agung Putu Joni Wahyuda, Sri Wahyuningsih, Sitti Hidayah, Mardiana.